TATA CARA SHOLAT MALAM DAN WITIR NABI SAW
Ditulis Oleh :
أسيف رشادي
http://www.aseprosyadi.cjb.net
1. Shalat Tarawih
Pendapat yang populer dalam jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah adalah sebagai berikut:
1. 11 rakaat terdiri dari 4 rakaat x 2 + 3 rakaat witir. Ini sesuai dengan hadist A'isyah yang diriwayatkan Bukhari.
2. 11 rakaat terdiri dari 4 rakaat x 2 + 2 rakaat witir + 1 witir. Ini sesuai dengan hadist Ai'syah riwayat Muslim.
3. 11 rakaat terdiri dari 2 rakaat x 4 & 2 rakaat witir + 1 witir. Ini juga diriwayatkan oleh Muslim.
4. Ada juga riwayat Ibnu Hibban yang mengatakan 8 rakaat + witir.
5. Ada juga riwayat yang mengatakan 13 rakaat termasuk witir.
Itu adalah diantara riwayat-riwayat yang sahih shalat malam yang dilakukan oleh Rasulullah.
Khusus untuk bulan Ramadhan Rasulullah pernah shalat berjamaah bersama sahabat, kemudian hari berikutnya beliau tidak lagi melakukan hal yang sama, ketika ditanya alasannya, beliau menjawab karena khawatir diwajibkan. Kemudian pada masa Umar bin Khattab, karena orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar ingin agar umat Islam nampak seragam, lalu disuruhlah agar umat Islam berjamaah di masjid dengan shalat berjamah dengan imam Ubay bin Ka'b. Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selasai melakukan shalat 4 rakaat.
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan perbedaan riwayat mengenai jumlah rakaat yang dilakukan pada saat itu : ada yang mengatakan 13 rakaat, ada yang mengatakan 21 rakaat, ada yang mengatakan 23 rakaat.
Khusus rakaat shalat tarawih, ada juga yang mengatakan 36 rakaat plus 3 witir, ini diriwayatkan pada masa Umar bin Abdul Aziz. Ada juga yang meriwayatkan 41 rakaat. Bahkan ada yang meriwayatkan 40 rakaat plus 7 rakaat witir. Riwayat dari imam Malik beliau melaksanakan 36 rakaat plus 3 rakaat witir.
Kebanyakan masyarakat Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi'i melaksanakan shalat Tarawih 20 rakaat atau 11 rakaat, termasuk witir. Kedua cara ini sama-sama mempunyai landasan dalil yang kuat.
Shalat tarawih bisa juga disebut shalat qiyamullail, yaitu shalat yang tujuannya menghidupkan malam bulan Ramadhan. Penamaan shalat tarawih tersebut belum muncul pada zaman Rasulullah Saw.
Tarawih merupakan bentuk jamak dari kata tarwihah. Secara bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian perbuatan duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai shalat malam 4 rakaat disebut tarwihah; karena dengan duduk itu orang-orang bisa beristirahat setelah lama melaksanakan qiyam Ramadhan.
Menegakkan Shalat malam atau tahajud atau tarawih dan shalat witir di bulan Ramadhan merupakan amalan yang sunnah. Bahkan orang yang menegakkan malam Ramadhan dilandasi dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu.
Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قاَمَ رَمَضَانَ إِيـْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapapun yang menegakkan bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim 1266)
Pada asalnya shalat sunnah malam hari dan siang hari adalah satu kali salam setiap dua rakaat. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah shalat malam itu?” Beliau menjawab:
مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang lain dikatakan:
صَلاَةُ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ
“Shalat malam hari dan siang hari itu dua rakaat – dua rakaat.” (HR Ibn Abi Syaibah) (At-Tamhiid, 5/251; Al-Hawadits, 140-143; Fathul Bari’ 4/250; Al-Muntaqo 4/49-51)
Maka jika ada dalil lain yang shahih yang menerangkan berbeda dengan tata cara yang asal (dasar) tersebut, maka kita mengikuti dalil yang shahih tersebut. Adapun jumlah rakaat shalat malam atau shalat tahajud atau shalat tarawih dan witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah lebih dari 11 atau 13 rakaat.
Shalat tarawih dianjurkan untuk dilakukan berjamaah di masjid karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan hal yang sama walaupun hanya beberapa hari saja. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir rahimahullah, ia berkata:
“Kami melaksanakan qiyamul lail bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 Ramadhan sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan sampai separuh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. Nasa’i, Ahmad, Al-Hakim, Shahih)
Beserta sebuah Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dia berkata:
Kami puasa tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih) hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam (tinggal 6 hari lagi – pent). Dan pada malam ke lima (tinggal 5 hari – pent) beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separuh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau bersabda:
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Barang siapa shalat tarawih bersama imam sampai selesai maka ditulis baginya shalat malam semalam suntuk.”
Kemudian beliau tidak memimpin shalat lagi hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapatkan falah. Saya (perowi) bertanya ‘apa itu falah?’ Dia (Abu Dzar) berkata ’sahur’. (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad, Shahih)
Hadits itu secara gamblang dan tegas menjelaskan bahwa shalat berjamaah bersama imam dari awal sampai selesai itu sama dengan shalat sendirian semalam suntuk. Hadits tersebut juga sebagai dalil dianjurkannya shalat malam dengan berjamaah.
Bahkan diajurkan pula terhadap kaum perempuan untuk shalat tarawih secara berjamaah, hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu yaitu beliau memilih Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam untuk kaum lelaki dan memilih Sulaiman bin Abu Hatsmah radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam bagi kaum wanita.
Tata Cara Shalat Malam
Perlu kita ketahui bahwa tata cara shalat malam atau tarawih dan shalat witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada beberapa macam. Dan tata cara tersebut sudah tercatat dalam buku-buku fikih dan hadits. Tata cara yang beragam tersebut semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Semua tata cara tersebut adalah hukumnya sunnah.
Maka sebagai perwujudan mencontoh dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaklah kita terkadang melakukan cara ini dan terkadang melakukan cara itu, sehingga semua sunnah akan dihidupkan. Kalau kita hanya memilih salah satu saja berarti kita mengamalkan satu sunnah dan mematikan sunnah yang lainnya. Kita juga tidak perlu membuat-buat tata cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengikuti tata cara yang tidak ada dalilnya.
Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Beliau membuka shalatnya dengan shalat 2 rakaat yang ringan.
2. Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang.
3. Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan tiap rakaat yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya hingga rakaat ke-12.
4. Kemudian shalat witir 1 rakaat.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Kholid al-Juhani, beliau berkata: “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam, maka beliau memulai dengan shalat 2 rakaat yang ringan, Kemudian beliau shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang sekali, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat witir 1 rakaat.” (HR. Muslim)
Faedah, Hadits ini menjadi dalil bolehnya shalat iftitah 2 rakaat sebelum shalat tarawih.
Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
2. Kemudian melakukan shalat witir langsung 5 rakaat sekali salam.
Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan tidur malam, maka apabila beliau bangun dari tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat dengan bersalam setiap 2 rakaat kemudian beliau melakukan shalat witir lima rakaat yang tidak melakukan salam kecuali pada rakaat yang kelima.”
Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat 10 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
2. Kemudian melakukan shalat witir 1 rakaat.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يُصَلىِّ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ – وَ هِيَ الَّتِي يَدْعُوْ النَّاسُ الْعَتَمَةَ – إِلىَ الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلَّمُ بَيْنَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam atau tarawih setelah shalat Isya’ – Manusia menyebutnya shalat Atamah – hingga fajar sebanyak 11 rakaat. Beliau melakukan salam setiap dua rakaat dan beliau berwitir satu rakaat.” (HR. Muslim)
Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 4 rakaat.
2. Kemudian shalat witir langsung 3 rakaat dengan sekali salam.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata:
مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَ لاَ فِي غَيْرِهِ إِحْدَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah bilangan pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan selain Ramadhan dari 11 Rakaat. Beliau shalat 4 rakaat sekali salam maka jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi sekali salam maka jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat witir 3 rakaat.” (HR Muslim)
Tambahan: Tidak ada duduk tahiyat awal pada shalat tarawih maupun shalat witir pada tata cara poin ini, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan ada larangan menyerupai shalat maghrib.
Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat langsung sembilan rakaat yaitu shalat langsung 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam.
2. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:
كُناَّ نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ، فَيَـبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ أَنْ يَـبْعَثَهُ مِنَ الَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يُصَلِى تِسْعَ رَكْعَةٍ لاَ يَـجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَ لاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيْمًا يُسْمِعْناَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِمُ وَ هُوَ قَاعِدٌ (رواه مسلم)
“Kami dahulu biasa menyiapkan siwak dan air wudhu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas kehendak Allah beliau selalu bangun malam hari, lantas tatkala beliau bangun tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Kemudian beliau melakukan shalat malam atau tarawih 9 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan lantas membaca pujian kepada Allah dan shalawat dan berdoa dan tidak salam, kemudian bangkit berdiri untuk rakaat yang kesembilan kemudian duduk tahiyat akhir dengan membaca dzikir, pujian kepada Allah, shalawat dan berdoa terus salam dengan suara yang didengar oleh kami. Kemudian beliau melakukan shalat lagi 2 rakaat dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim 1233 marfu’, mutawatir)
Faedah, Hadits ini merupakan dalil atas:
1. Bolehnya shalat lagi setelah shalat witir.
2. Terkadang Nabi shalat witir terlebih dahulu baru melaksanakan shalat genap.
3. Bolehnya berdoa ketika duduk tasyahud awal.
4. Bolehnya shalat malam dengan duduk meski tanpa uzur.
Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat dua rakaat dengan bacaan yang panjang baik dalam berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
2. Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
3. Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
4. Setelah bangun shalat witir 3 rakaat.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
ثُمَّ قَامَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَأَطَالَ فِيْهْمَا الْقِيَامَ وَ الرُّكُوْعَ وَ السُّجُوْدَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَامَ حَتَّى نَفَغَ ثُمَّ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سِتُّ رَكَعَاتٍ كُلُّ ذَلِكَ يَشْتاَكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يَقْرَأُ هَؤُلاَءِ الآيَاتِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلاَثٍ
“…Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri melakukan shalat 2 rakaat maka beliau memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya dalam 2 rakaat tersebut, kemudian setelah selesai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring sampai mendengkur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi hal tersebut sampai 3 kali sehingga semuanya berjumlah 6 rakaat. Dan setiap kali hendak melakukan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian berwudhu terus membaca ayat (Inna fii kholqis samawati wal ardhi wakhtilafil laili… sampai akhir surat) kemudian berwitir 3 rakaat.” (HR. Muslim)
Faedah, Hadits ini juga menjadi dalil kalau tidur membatalkan wudhu
Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat langsung 7 rakaat yaitu shalat langsung 6 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke-6 tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam. Maka sudah shalat 7 rakaat.
2. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah yang merupakan kelanjutan hadits no.5 beliau berkata: “Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tua dan mulai kurus maka beliau melakukan shalat malam atau tarawih 7 rakaat. Dan beliau melakukan shalat 2 rakaat yang terakhir sebagaimana yang beliau melakukannya pada tata cara yang pertama (dengan duduk). Sehingga jumlah seluruhnya 9 rakaat.” (HR. Muslim 1233)
Disunnahkan pada shalat witir membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Ikhlas pada rakaat yang kedua dan membaca surat al-Falaq atau an-Naas pada rakaat yang ketiga. Atau membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Kafirun pada rakaat yang kedua dan membaca al-Ikhlas pada rakaat yang ketiga.
Tata cara tersebut di atas semua benar. Boleh melakukan shalat malam atau tahajud atau tarawih dan witir dengan cara yang dia sukai, tetapi yang lebih afdhol adalah mengerjakan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti. Karena bila hanya memilih satu cara berarti menghidupkan satu sunnah tetapi mematikan sunnah yang lainnya. Bila melakukan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti berarti telah menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak ditinggalkan oleh kaum Muslimin.
Adapun pada zaman Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu Kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat, 13 rakaat, 21 rakaat dan 23 rakaat. Kemudian 39 rakaat pada zaman khulafaur rosyidin setelah Umar radhiyallahu ‘anhu tetapi hal ini khusus di Madinah. Hal ini bukanlah bid’ah (sehingga sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk adanya bid’ah hasanah) karena para sahabat memiliki dalil untuk melakukan hal ini (shalat tarawih lebih dari 13 rakaat). Dalil tersebut telah disebutkan di atas ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)
Pada hadits tersebut jelas tidak disebutkan adanya batasan rakaat pada shalat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Batasannya adalah datangnya waktu subuh maka diperintahkan untuk menutup shalat malam dengan witir.
Para ulama berbeda sikap dalam menanggapi perbedaan jumlah rakaat tersebut. Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat tersebut dengan metode al-Jam’u bukan metode at-Tarjih (Metode tarjih adalah memilih dan memakai riwayat yang shahih serta meninggalkan riwayat yang lain atau dengan kata lain memilih satu pendapat dan meninggalkan pendapat yang lain. Hal ini dipakai oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam menyikapi perbedaan jumlah rakaat ini. Metode al-Jam’u adalah menggabungkan yaitu memakai semua riwayat tanpa meninggalkan dan memilih satu riwayat tertentu. Metode ini dipilih oleh jumhur ulama dalam permasalahan ini). Berikut ini beberapa komentar ulama yang menggunakan metode penggabungan (al-Jam’u) tentang perbedaan jumlah rakaat tersebut:
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ia boleh shalat 20 rakaat sebagaimana yang masyhur dalam mazhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 rakaat sebagaimana yang ada dalam mazhab Malik. Boleh shalat 11 dan 13 rakaat. Semuanya baik, jadi banyak atau sedikitnya rakaat tergantung lamanya bacaan atau pendeknya.” (Majmu’ al-Fatawa 23/113)
• Ath-Thartusi berkata: “Para sahabat kami (malikiyyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 rakaat dengan bacaan yang amat panjang. Pada rakaat pertama imam membaca 200 ayat karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak kuat lagi menanggung hal itu maka Umar memerintahkan 23 rakaat demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan rakaat. Maka mereka membaca surat Al-Baqarah dalam 8 rakaat atau 12 rakaat.”
• Imam Malik rahimahullah berkata: “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan adalah shalat yang diperintahkan Umar yaitu 11 rakaat itulah cara shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 dekat dengan 13.
• Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz berkata: “Sebagian mereka mengira bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 rakaat. Sebagian lain mengira bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, BAHKAN SALAH. Bertentangan dengan hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa shalat malam itu muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku yang tidak boleh dilanggar.”
Adapun kaum muslimin akhir jaman di saat ini khususnya di Indonesia adalah umat yang paling lemah. Kita shalat 11 rakaat (Paling sedikit) dengan bacaan yang pendek dan ada yang shalat 23 rakaat dengan bacaan pendek bahkan tanpa tu’maninah sama sekali!!!
2. Shalat Witir
Diantara madzhab-madzhab fikih, hanya Abu Hanifah yang berpendapat wajibnya shalat witir. Sementara yang lain hanya menganggapnya sebagai sunnat muakkad [kesunaatan yang benar-benar dianjurkan]. Bahkan kedua murid Abu Hanifah sebagai pemegang otoritas utama madzhab Hanafiyah juga beranggapan sama, yakni hanya sunnat muakkad.
Shalat witir adalah "shalat ganjil", yang didasarkan pada hadits Nabi Muhammad: "Sesungguhnya Allah adalah witr [ganjil] dan mincintai witr [HR. Abu Daud]. Shalat ini dimaksudkan sebagai pemungkas waktu malam untuk "mengganjili" shalat-shalat yang genap. Karena itu, dianjurkan untuk menjadikannya akhir shalat malam. Apabila seseorang berkehendak untuk shalat tahajjud pada malam hari, maka sebaiknya ia tidak menunaikan salat witir menjelang tidur, tapi melaksanakannya setelah shalat tahajjud. Namun jika ia tidak bermaksud demikian, maka sebelum tidur, ia dianjurkan untuk menunaikannya. Walhasil, shalat witir adalah shalat yang dilaksanakan paling akhir diantara shalat-shalat malam.
Nabi Muhammad SAW mengatakan: "Jadikanlah witir akhir shalat kalian di waktu malam". [HR. Bukhari]. "Barang siapa takut tidak bangun di akhir malam, maka witirlah pada awal malam, dan barang siapa berkeinginan untuk bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam, karena sesungguhnya shalat pada akhir malam masyhudah ("disaksikan") [HR. Muslim].
Adapun waktunya adalah setelah shalat 'Isya hingga fajar. Kata Nabi Muhammad SAW: "Sesungguhnya Allâh telah membantu kalian dengan shalat yang lebih baik daripada kekayaan rajakaya, yaitu shalat witir. Maka kemudian Allâh menjadikannya untuk kalian [agar dilaksanakan] mulai dari 'Isya hingga terbit fajar". [HR. lima sunan selain Annasâiy]
Rasulullah SAW bersabda : “Allah telah menambahkan kepada kalian suatu sholat , wa hiyal- witru (witir). Maka itu, laksanakanlah sholat itu diantara sholat isya dan sholat fajar.” (Hr. Ahmad dengan sanad yang shohih).
Sholat witir boleh dilaksanakan tiga rakaat langsung dengan sekali salam, atau dua rakaat salam kemudian dilanjutkan dengan satu rakaat.
Doa Qunut dalam Shalat Witir
Doa qunut nafilah yakni doa qunut dalam shalat witir termasuk amalan sunnah yang banyak kaum muslimin tidak mengetahuinya. Karena tidak mengetahuinya banyak kaum muslimin yang membid’ahkan imam yang membaca doa qunut witir. Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang tidak. Hal ini berdasarkan hadits:
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca qunut dalam shalat witir.” (HR. Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)
يَجْعَلُهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ
“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan An-Nasa’i dalam kitab Sunanul Qubro, Ahmad, Thobroni, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir dengan sanad shahih)
Adapun doa qunut tersebut dilakukan setelah ruku’ atau boleh juga sebelum ruku’. Doa tersebut dibaca keras oleh imam dan diaminkan oleh para makmumnya. Dan boleh mengangkat tangan ketika membaca doa qunut tersebut.
Di antara doa qunut witir yang disyariatkan adalah:
الَلَّهُمَّ اهْدِناَ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِناَ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّناَ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَباَرِكْ لَناَ فِيْماَ أَعْطَيْتَ، وَقِناَ شَرَّ ماَ قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّناَ وَتَعَالَيْتَ، لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ
APAKAH SHOLAT WITIR WAJIB?
Di negara Turki, shalat witir itu wajib. Sebab mazhab fiqih yang beredar di negeri Muhammad Al-Fatih itu adalah mazhab Hanafi. Sebagaimana yang kita pelajari dalam materi shalat sunnah, bahwa berbeda dengan jumhur ulama, mazhab Hanafi telah menetapkan kewajiban shalat witir di malam hari. Sementara mazhab lainnya, seperti Maliki, Syafi’i dan Hambali, sepakat bahwa kewajiban shalat fardhu hanya lima waktu saja.
Lalu yang jadi pertanyaan: apa dasar kalangan mazhab Hanafi ketika menetapkan hukum wajib atas shalat witir? Dan apakah hal itu bertentangan dengan dasar syariat Islam? Setidaknya ada dua hadits yang dijadikan alasan bagi Abu Hanifah ketika akhirnya menetapkan bahwa shalat witir itu hukumnya wajib.
1. Hadits Pertama
Ini adalah haditsyang dishahihkan oleh Abu Hanifah bahwa Rasulullah SAW diriwayatkan telah memerintahkan shalat witir dalam format wajib. Hadits itu adalah:
Sesungguhnya Allah SWT telah menambahkan lagi satu shalat wajib, yaitu shalat witir
Lalu bagaimana kedudukan hadits ini?
Tentu saja sudah pasti hadits ini shahih menurut Abu Hanifah. Karena tidak mungkin beliau berdalil dengan hadits yang lemah apalagi palsu, bukan?
Namun ijtihad Abu Hanifah itu bukan berarti satu-satunya sumber kebenaran. Sebab kalau kita telurusi kedudukan hadits ini di dalam kitab, misalnya kitab Nashburrayah, kita akan menemukan bahwa hadits ini dianggap ma’lul. Lihat Nashburrayah jilid 1 halaman 109.
Meskipun demikian, hadits ini diriwayatkan lewat 8 orang shahabat, yaitu Kharijah bin Hadzafah, Amru bin Al-Ash, ‘Uqbah bin Amir, Abu Bashrah Al-Ghafari, Ibnu Abbas, Amru bin Syu’aib, Abu Said Al-Khudri dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum ajmain.
2. Hadits Kedua
Selain hadits di atas, Abu Hanifah juga berpedoman dengan hadits lainnya, yang juga menegaskan kewajiban hukum shalat witir.
Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Shalat witir itu hukumnya wajib bagi setiap muslim” (HR Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Jumhur Ulama: Shalat Witir Tidak Wajib
Namun selain Abu Hanifah, sepanjang yang kami ketahui, pendapat jumhurl ulama telah dikenal, bahwa shalat witir itu hukumnya hanya sunnah, bukan wajib.
Tentu saja para ulama jumhur punya sekian banyak dalil yang teramat kuat untuk dihadapkan dengan dalil-dalil yang dibawa oleh Abu Hanifah di atas. Di antaranyahadits nabi Muhammad SAW yang secara tegas menyebutkan bahwa shalat fardhu itu hanya 5 waktu saja.
Kejadiannya persis pada saat Rasulullah SAW hendak mengutus Muazd bin Jabal ke Yaman. Beliau SAW bersabda kepadanya:
Beritakanmereka (peduduk Yaman) bahwa Allah SWT telah mewajibakan shalat 5 waktu dalam sehari semalam. (HR Bukhari dan Muslim)
Selain hadits ini berstatus muttafaqun ‘alaihi, karena baik Al-Bukhari maupun Muslim telah sepakat menyatakan keshahihannya, lafadznya juga sangat lugas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan selain bahwa shalat wajib itu hanya lima waktu saja.
Selain berdalil dengan hadits shahih di atas, umumnya para ulama juga menyebutkan bahwa kewajiban shalat lima waktu itu sudah dikenal populer lewat peristiwa Mi’raj nabi SAW. Beliau awalnya menerima perintah shalat 50 waktu, lalu akhirnya menjadi tinggal 5 wakut saja, bukan 6 waktu.
Dari Anas bin Malik ra. “Telah difardhukan kepada Nabi SAW shalat pada malam beliau diisra`kan 50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan, “Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali shalat.”(HR Ahmad, An-Nasai dan dishahihkan oleh At-Tirmizy)
Di Turki shalat wajib itu ada 6 waktu, termasuk di dalamnya shalat witir. Biarkan saja dia dengan pendapatnya. Kita wajib menghormati mazhabnya dan mazhab bangsa Turki yang Hanafi. Lepas dari apakah yang bersangkutan mengerti dasar pengambilan pendapat itu, ataumungkin juga dia pun tidak tahu latar belakang pendapat mazhabnya.
Tapi yang jelas, bahwa ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, kita sudah tahu dan kita bisa memakluminya. Dan itulah dinamika fiqih ikhtilaf.
3. Shalat Tahajud
Salat tahajud itu artinya salat malam setelah tidur sejenak. Tahajud berasal dari bahasa Arab "tahajjud", dari kata dasar "hajada" yang berarti "tidur" dan juga berarti "salat di malam hari". Orang yang melakukan salat malam disebut "haajid". Jadi bertahajud artinya melakukan salat sunat di malam hari, setelah tidur. Semua salat sunat yang dikerjakan di malam hari setelah tidur, dengan demikian, disebut salat tahajud atau salat malam (shalatullail).
Shalat tahjud hukumnya sunnah muakkadah bagi umat Islam. Bagi Rasulullah hukumnya sunnah. Dalam riwayat Muslim dikatakan "Sebaik-baik shalat setelah shalat fardlu, adalah shalat pada malam hari". Jenisnya macam-macam, bisa salat hajat, salat witir, salat tasbih, dan sunat mutlak, atau mungkin juga shalat tarawih.
Dalam melakukan tahajud disunatkan memulainya dengan salat sunat dua rekaat yang ringan (tidak panjang). Kata Nabi saw: "Jika salah satu di antara kalian melakukan salat malam, hendaknya memulainya dengan dua rekaat yang ringan".[Riwayat Muslim, Abu Daud, dan Ahmad].
Setelah itu silahkan melakukan salat sepuasnya, sekuatnya. Boleh berupa salat hajat (salat hajat ini boleh juga dilakukan di siang hari), salat tasbih, atau salat sunat mutlak (sunat mutlak ini maksudnya asal salat saja dua rekaat, niatnya salat sunat). Semua salat dilakukan dua rekaat-dua rekaat. Kecuali salat witir yang boleh disambung menjadi 3 rekaat, disertai tahiyat awal pada rekaat kedua (sebelum berdiri menuju rekaat ketiga).
Salat tahajud hendaknya diakhiri dengan salat witir. Jadi urutannya, witir dilaksanakan paling akhir, sekiranya setelah itu tidak melakukan salat lagi.
والله أعلم بالصواب
الفقير : أسيف رشادي
03 رمضان 1431 هـ
تجيفيتجانج - مجالينكا
Sumber :
Al-Quranul Karim.
Shohih Muslim
Qiyaamur Ramadhan li Syaikh Al-Albanyrahimahullah
Sifat Tarawih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Majalah As-Sunnah Edisi 07/1424H/2003M
Tata Cara Shalat Malam Nabi oleh Ustadz Arif Syarifuddin, Lc.
Malik, Muhammad Rusli. Puasa Menyelami Arti Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Spiritual Dan Kecerdasan Emosional Di Bulan Ramadhan. Jakarta : Pustaka Zahra, 2003
http://www.pesantrenvirtual.com/tanya/333.shtml
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/tata-cara-shalat-malam-dan-witir-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html
http://sunatullah.com/sholat/apakah-sholat-witir-wajib.html